Minggu, 25 Maret 2012

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

TUGAS TULISAN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI


NAMA : Yoyon S
NPM : 21208322
KELAS : 2 EB22

Jurnal Toddoppuli
Cerita Buat Andriani S. Kusni Dan Anak-Anakku
Apakah peradilan adat, apa saja dan sejauh mana wilayahnya, merupakan pertanyaan utama diskusi ini.
Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan sesuatu perkara dan atau untuk menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat.Proses pelaksanaan tentang penyelesaian dan penetapan keputusan perkara itu disebut ‘’peradilan adat’.Istilah “peradilan’’ (rechtspraak) pada dasarnya berbicara tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan dan atau di muka pengadilan.
Siapakah yang melaksnakan peradilan adat ini? Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota m asyarakt secara perorangan, oleh keluarga/tetangga, kepala kerabat atau kepla adapt (hakim adat) , kepala desa (hakim desa)atau oleh pengurus perkumpulan organisasi, dengan tujuan menyelesaikan delik adat secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu (Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, 1992: 247). Masih menurut Prof.Hilman Hadikusuma: “peradilan adapt itu juga dapat dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan resmi, yaitu peradilan negra, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, No. 13 tahun 1965 dan Undang-Undang tentang Mahkamah gung No. 14 tahun 1970.(ibid).
Dalam melaksanakan pekerjaannya Peradilan Adat mendasarkan diri pada Hukum Adat Delik (adatdelicten recht) yang juga bisa disebut Hukum Pidana Adat , atau Hukum Pelanggaran Adat, yaitu. aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa tu perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Dengan demikian yang diuraikan dalam hukum adat delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang bagaimana yang merupakan delik adat dan bagaimana cara menyelesaikannya sehingga keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa terganggu.
Apkah yag disebut delik adat (adatdelicten)? Menurut van Vollenhoven yang dimaksudka dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan wamaupun pada kenyataannya peristiwa atu perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan ) kecil saja (Hilman Hadikusuma, 1979:19). Menurut Ter Haar ‘’delik’’ (pelanggrn) itu ialah setiap gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbangan di man setiappelanggaran itu dari suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidk berwujud, berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat), suatu reaksi adat, dan dikarenakan adanya reaksi itu maka keseimbangan harus dapat dipulihkan kembali dengan pembayaran uang atau barang (Ter Hr, 1950:218).
Jadi Hukum Adat bukan hanya terdiri dari hukum adat delik dan hukum adat peradilan. Hukum Adat juga mencakup hukum-hukum adat tentang ketatanegaraan, perkawinan, kekerabatan, warisan, dan hukum adat perekonomian. Artinya yang disebut hukum adat dan yang diurus oleh hukum adat mencakup perkara pidana, cara dan perdata. Sehingga apabila dalam upaya menyelesaikan kemelut pilkada di kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) ada niat menggunakan penyelesaian secara adat, maka upaya demikian tidak bisa dikatakan hukum adat mengurus bidang yang bukan “domain”nya. Apakah untuk menyelesaikan kemelut pilkada Kobar ini menerapkan hukum positif atau hukum adat, pertanyaannya tidak terletak pada soal domainya atau tidak, tapi terletak pada pilihan cara penyelesaian. Bagaimana car menyelesaikannya? Dari segi “domain”, bidang cakupan, kalau merujuk pada sejarah hukum adat dan peradilan adat, boleh dikatakan tidak kurang luas dari hukum positif. Sebelum Republik Indonesia (RI) diproklamirkan dan sebelum kolonialisme Belanda mencengkeramkan kuku penjajahanya atas negeri ini, berbagai etnik di wilayah yang sekarang bernama RI, mengatur dan mengelola masyarakat masing-masing dengan menerapkan hukum adat dan perangkatnya. Di Kalteng dalam kerangka penjajahannya Belanda melancarkan politik desivilisasi “ragi usang”, antara lain untuk menghancurkan hukum adat Dayak. Justru dengan niat berdamai antar sesama Dayak, mengakhiri antar mereka pada tahun 1894 di Tumbang Anoi berbagai suku Dayak dari seluruh Pulau Kalimantan ini menyepakti adanya sebuah Hukum Adat Tumbang Anoi (Hurong Anoi) yang terdiri dari 96 pasal sebagai pegangan bersama. (Tjilik Riwut, 1993: 469-496).Menggunakan hukum adat dan cara-cara adat untuk menyelesaikan masalah , termasuk masalah politik (jika menggunakan istilah sekarang), sama sekali bukanlah mempolitisir lembaga adat, adat dan hukum adat. Tapi justru menerapkan yang turun-temurun dilaksanakan oleh orang Dayak, paling tidak sejak tahun 1894. Bidang politik, jika dilihat dari uraian di atas, memang termasuk bidang yang ditangani oleh adapt, hokum dan pengadilannya. Lebih-lebih lagi, tidak mempolitisir adapt, tapi justru bertindak sebagai Dayak sesungguhnya, jika dilihat dari segi filosofi (budaya Kaharingan, nama dari Budaya Dayak dulu).. Menurut Budaya Dayak, hidup dan mati seseorang bertujuan untuk menjdikan bumi (kampung halaman) sebagai tempat hidup anak manusia secara manusiawi dengan kualitas yang terus-menerus meningkat yang dilambangkan pada enggang dan naga, dituangkan pada perumusan diri Manusia Dayak sebagai “Utus Panarung”, “Rengan Tingang Nyanak Jata”. Untuk melaksanakan wacana hidup-mati ini dengan semangat ‘’Isen Mulang’’ (Tidak pulang jika tak menang) maka Budaya Dayak mengajarkan tentang keniscyaan melakukan hatamuei lingu nalata (saling mengembarai pikiran dan perasaan masing-masig) serta berlomba-lomba menjadi anak manusia yang manusiawi hingga tiba di gerbang langit (hatindih kambang nyahun tarung, mantang lawang langit).. Budaya Dayak juga yang memandang kebohongan, ingkar janji sebagai sesuatu yang sangat hina bahkan dipandang sebagai manusia cacat hambaruan /jiwa (Tjilik Riwut, 1993:464). Adat dan Peradilan Adat justru bertolak dari wacana-wacana budaya demikian. Apabila semua yang merasa diri Dayak berpegang pada wacana demikian, maka apa yang dikhawatirkan Dayak berbenturan dengan Dayak dalam soal kemelut pilkada Kobar hanya akan terjadi ketika Pengadilan Adat campur tangan, adalah kekhawatiran yang hanya bisa terwujud oleh rekayasa politik egoistik. Apabila terjadi, berarti Orang Dayak mundur 117 tahun, kembali saling hakayau kulae (saling memenggal kepala orang sesaudara), ingkar pada nilai budaya mereka sendiri. Legalitas kekinian Peradilan Adat Dayak didapat pada Perda No.16 Tahun 2008, disamping pada sejarah Tanah Dayak serta sejarah hukum nasional (Prof. H.Hilman Hadikusuma, SH, 1992:43-167). Jalan hakayau kulae tidak lain dari jalan menuju ke kegelapan.
Yang memahami sejarah, budaya dan adat Dayak, tidak akan menyempitkan ruang lingkup masalah yang ditangani oleh adat dan hukum adatnya.Yang cermat mengamati perkembangan Kalteng sejak tahun 1957, apalagi sejak tahun 1919, tTidak akan berkata bahwa politik, urusan kenegaraan, bukan urusan adat dan hukum adat. Ketika negeri ini masih semerawut, ketika RI perlu dibangun dari kampung halaman , dari daerah, adat dan hukum adat barangkali bisa berperan besar. Adat ,hukum adat serta Masyarakat Adat yang perlu diperkuat, akan kuat jika mampu menjawab . zamannya. Periode inilah yang saya namakan pasca tradisional. Politisinya adalah negarawan berwacana. Dalam seminar tentang hukum adat di Universitas Palangka Raya (Unpar) 5 Januari 2011, Hakim Agung Prof. Dr. abdurhman megatakan bahwa ‘’suku Dayak diakui keberadaannya, tapi tidak diakui hak-haknya”. Apakah penyingkiran Masyarakat Adat dari politik bukannya salah satu bentuk kongkret dari tidak diakuinya hak-hak suku Dayak di kampung halamannya sendiri? ***
KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar